Oleh: HENDRA KASIM dikutip https://hendrakasim.wordpress Advokat dan Legal Consultant – Saya mendapatkan kabar mengenai polemik pelantikan beberapa Kepala Desa di Halmahera Selatan dari dua orang kawan di Bumi Saruma, keduanya dalam jeda waktu yang cukup lama mengajak diskusi tema yang sama, polemik pelantikan empat Kepala Desa di Kabupaten Paling Selatan Halmahera.
Posisi Kasus
Melalui mereka dan mencari informasi dari berbagai media massa, singkat cerita akar masalah dari polemik tersebut adalah, pada Pemilihan Kepala Desa di Empat Desa yakni Desa Gandasuli, Desa Goro-Goro, Desa Loleo Ngusu dan Desa Kuo (sumber: TribunTernate.Com) beberapa waktu lalu, hasilnya digugat ke PTUN Ambon, oleh PTUN membatalkan hasil pemilihan tersebut yang kemudian membatalkan Keputusan Bupati mengenai Pengangkatan Kepala Desa dan memerintahkan untuk mencabut Keputusan a quo.
Langkah Bupati Halmahera Selatan atas Putusan dimaksud adalah membatalkan SK sebagaimana perintah putusan pengadilan. Sampai di sini tidak ada persoalan. Muncul masalah, setelah membatalkan SK kemudian Bupati berbasiskan ‘legal reasoning’ diskresi kembali melantik empat subjek hukum sebagai Kepala Desa yang sebelumnya tegas dan terang disebutkan dalam SK padahal oleh pengadilan diperintahkan dibatalkan. Pada bagian ini perlu diluruskan.
Sebab Bupati adalah pejabat administrasi, bukan Nabi sebagaimana historiografi peristiwa menghidupkan orang mati hanya dilakukan oleh Nabi Isa. Seperti telah ‘dimatikan’ PTUN, ‘dihidupkan’ kembali oleh Bupati.
Seputar Diskresi
Legal reasoning Bassam adalah diskresi. Pertanyaan hukumnya, apa yang dimaksud dengan diskresi? Pada keadaan seperti apa diskresi dapat diambil?
Ridwan HR mengutip Laica Marzuki menyebutkan diskresi adalah kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayan publik yang harus diberikan tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang kian kompleks.
Secara teoritik, diskresi baru dapat diterapkan dalam tiga keadaan,
terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum);
terdapat ketidakjelasan norma atau lebih dari satu pilihan atas penjelasan suatu norma yang mengatur; dan
keadaan facemayor yang mana hanya dapat diselesaikan melalui tindakan hukum kebijaksanaan pemerintah.
Secara normatif, Pasal 23 UU Administrasi Pemerintahan beserta penjelasannya telah mengatur tindakan pemerintahan dapat diambil bilamana:
ketentuan peraturan perundang-undangan memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan. Biasanya dicirikan dengan kata dapat, boleh, atau diberikan kewenangan, berhak, seharusnya, diharapkan, dan kata-kata lain yang sejenisnya;
peraturan perundang-undangan tidak mengatur, yaitu ketiadaan atau kekosongan hukum yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu kondisi tertentu atau di luar kelaziman;
peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas, yakni apabila dalam peraturan perundang-undangan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, peraturan yang tumpang tindih (tidak harmonis dan tidak sinkron), dan peraturan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan, tetapi belum dibuat;
adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas, adalah kepentingan yang menyangkut hajat hirup orang banyak, penyelamat kemanusiaan dan keutuhan negara, antara lain bencana alam, wabah penyakit, konflik sosial, kerusuhan, pertahanan dan kesatuan bangsa.
Diskresi merupakan kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan kepada pejabat tata usaha negara untuk bertindak bebas. Kewenangan ini, sekaligus menimbulkan potensi abuse off power, sehingga dibatasi melalui kriteria atau keadaan yang harus terpenuhi agar pejabat tata usaha dapat mengambil tindakan diskresi. Karenanya, dalam hukum administrasi sebagaimana telah diakomodir dalam asas umum pemerintahan yang baik, dikenal asas tidak mencampuradukkan kewenangan.
Case Halsel
Masalah Halmahera Selatan sebagaimana kasus a quo apakah terjadi kekosongan hukum serta keadaan hukum sehingga Kepala Daerah dapat mengambil langkah diskresi!
UU Desa telah memberikan emergency exit atas keadaan hukum dimaksud. Dalam kasus seperti Halmahera Selatan, merujuk Pasal 46 dan 47 UU Desa jo Pasal 45 PP 43/2014 jo 48 Permendagri 72/2020.
Pasal 46 UU Desa menyebutkan:
Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 tidak lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya Kepala Desa;
Penjabat Kepala Desa melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
Pasal 47 UU Desa menyebutkan:
Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa.
Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan ditetapkannya Kepala Desa.
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui Musyawarah Desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak Kepala Desa diberhentikan.
Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan tugas Kepala Desa sampai habis sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur Dalam peraturan Pemerintah.
Pasal 45 PP 43/204 menyebutkan Musyawarah Desa yang diselenggarakan khusus untuk pelaksanaan pemilihan kepala Desa antar waktu dilaksanakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak kepala Desa diberhentikan dengan mekanisme sebagai berikut: …
Pasal 48 Permendagri 72/2020 menyebutkan:
Biaya pemilihan Kepala Desa dan tugas panitia pemilihan kabupaten/kota yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Desa dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.
Pemilihan Kepala Desa antar waktu melalui musyawarah Desa dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja desa.
Biaya pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam kondisi Corona Virus Disease 2019 dapat didukung dari anggaran pendapatan dan belanja desa sesuai kemampuan keuangan desa.
Perintah undang-undang yang dapat dilakukan oleh Bupati sebagai jalan keluar atas persoalan tersebut di atas adalah menunjuk ASN sebagai Pejabat Kepala Desa yang jika masa jabatan Kepala Desa kurang dari setahun, ASN tersebut menjabat hingga pemilihan kepala desa serentak. Namun, jika masa jabatan lebih dari setahun, ASN yang ditunjuk selaku Pj. Kepala Desa bertugas menyelenggaran Pemilihan Kepala Desa Antar Waktu. Solusi normatif ini, memberikan penegasan tidak ada kekosongan norma, sehingga Bupati wajib tunduk pada norma hukum dalam menjalankan pemerintahan, yang karenanya keadaan hukum untuk mengambil langkah diskresi tidak terpenuhi. Sebab itu, tindakan Bupati mengambil langkah hukum dengan legal reasoning diskresi melanggar selain norma hukum pula asas tidak mencampuradukkan kewenangan yang berarti tindakan tersebut melanggar asas umum pemerintahan yang baik. Tindakan melanggar norma dan AUPB dapat dikualifikasi sebagai melanggar sumpah jabatan yang itu berarti dapat menjadi alasan yang cukup untuk mendorong pemakzulan (bagian ini tidak diurai secara rinci pada tulisan ini, mungkin pada bagian lain).
Emergency Exit
Nayatanya, Bupati Bassam telah mengambil tindakan hukum dengan alibi diskresi. Secara administratif, bagaimana solusi atas polemik tersebut? Penulis berpendapat ada dua hal yang dapat dilakukan.
Pertama; Bupati selaku pejabat tata usaha negara dapat mencabut atau membatalkan SK yang diterbitkan untuk ‘menghidupkan kembali’ kepala desa yang sebelumnya tegas dibatalkan oleh Pengadilan TUN. Hal ini, merujuk pada asas contrarius actus, badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang menerbitkan suatu keputusan TUN juga berwenang untuk membatalkan atau mencabut keputusan tersebut. Prinsip ini memungkinkan pejabat atau instansi yang mengeluarkan keputusan secara langsung memperbaikinya atau membatalkannya jika terdapat cacat yuridis, tanpa harus menunggu keberatan dari pihak lain atau mengajukan gugatan ke pengadilan. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan, karena tertib adminitrasi adalah ruh meristrokrasi.
Kedua; para pihak yang merasa dirugikan (memiliki legal standing) dapat menempuh upaya hukum administrasi negara untuk mengajukan koreksi atas tindaka hukum Bupati melalui pengadilan administrasi.
Editor : Admin Coretansatu.com